Madagaskar akan memberlakukan hukuman kebiri bagi para pelaku pemerkosa anak setelah Parlemen Madagaskar mengesahkan undang-undang (UU) yang melegalkan pengebirian terhadap pemerkosa anak.
Undang-undang itu disahkan pada 2 Februari, dan Senat, majelis tinggi, meratifikasinya minggu lalu.
Masalah ini pertama kali diangkat pada bulan Desember oleh presiden dan pemerintahannya yang mengupayakan amandemen hukum di negara kepulauan berpenduduk 28 juta orang tersebut.
Menurut Menteri Kehakiman Landy Mbolatiana Randriamanantenenasoa, undang-undang tersebut diperlukan karena meningkatnya kasus pemerkosaan anak.
Dalam laporan kantor berita The Associated Press, Ia menyebutkan pada tahun 2023 terdapat 600 insiden pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, 133 di antaranya terjadi pada awal Januari tahun ini.
Rancangan undang-undang tersebut akan menggantikan peraturan lama yang menyatakan bahwa mereka yang terbukti bersalah memperkosa anak di bawah umur akan menghadapi hukuman kerja paksa antara lima dan 20 tahun.
Dalam aturan tersebut mereka yang dinyatakan bersalah memperkosa anak di bawah sepuluh tahun akan dikebiri melalui pembedahan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan jika korban berusia antara sepuluh hingga 13 tahun, mereka akan dikebiri secara kimia dan menghadapi hukuman kerja paksa selama 15 hingga 20 tahun.
Jika pemerkosa juga masih di bawah umur, mereka akan lolos dari pengebirian.
“Madagaskar adalah negara berdaulat yang memiliki hak untuk memodifikasi hukumnya sehubungan dengan keadaan dan demi kepentingan umum masyarakat. Hukum pidana yang ada saat ini belum cukup untuk mengekang para pelaku pelanggaran ini.” ucap Menteri Kehakiman Landy Randriamantenasoa mendukung RUU tersebut.
“Kami ingin lebih melindungi anak-anak. Semakin muda anak itu, semakin besar hukumannya. Masyarakat harus tahu apa yang mereka lakukan.” pungkas Randriamanantenasoa.
Kebiri kimia adalah penggunaan obat-obatan untuk memblokir hormon dan mengurangi hasrat seksual. Umumnya, efek dari praktik ini dapat diatasi dengan menghentikan penggunaan obat tersebut. Pengebirian bedah adalah prosedur permanen.
Beberapa negara dan beberapa negara bagian AS – termasuk California dan Florida – mengizinkan kebiri kimia bagi beberapa pelaku kejahatan seksual. Sedangkan kebiri bedah sebagai hukuman jauh lebih jarang terjadi. Penggunaan keduanya kerap menimbulkan perdebatan sengit.
Di sisi lain, organisasi internasional Amnesty turut menyoroti undang-undang baru tersebut. Tigere Chagutah, direktur regional Amnesty untuk Afrika Timur dan Selatan, menyoroti bahwa kasus pemerkosaan dan pelaporan anak-anak harus ditanggapi dengan lebih serius. Sebab yang sering terjadi biasanya pelaku dilepas karena adanya pembalasan jika korban melaporkannya.
“Menerapkan kebiri kimia dan bedah, yang merupakan perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, sebagai hukuman bagi mereka yang terbukti bersalah memperkosa anak di bawah umur tidak akan menyelesaikan masalah ini dan tidak sejalan dengan ketentuan konstitusi Malagasi yang melarang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, serta ketentuan regional dan internasional terkati standar hak asasi manusia internasional,” kata Chagutah.
Nciko wa Nciko, penasihat Madagaskar di Amnesty, mengatakan bahwa undang-undang tersebut seharusnya lebih fokus pada perlindungan korban.
“Di pulau itu, prosedur pengaduan dan persidangan tidak dilakukan secara anonim. Ada kurangnya kepercayaan pada sistem peradilan pidana Malagasi, karena opacity dan korupsi. Dan pembalasan terhadap korban perkosaan sering terjadi. Namun, undang-undang tidak memerangi faktor-faktor ini,” katanya.